Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (ketiga kiri) didampingi Sekertaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti (kedua kiri), Ketua Bidang Ekonomi, Bisnis dan Industri Halal PP Muhammadiyah Muhadjir Effendy (ketiga kanan), Bendahara Umum PP Muhammadiyah Hilman Latief (kedua kanan), Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti (kanan) dan Ketua Bidang Organisasi, Ideologi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM PP Muhammadiyah Agung Danarto (kiri) menyampaikan paparan saat jumpa pers Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Sleman, D.I Yogyakarta, Minggu (28/7/2024). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/agr/Spt.

Jakarta (ANTARA) - Setelah mampu menangkap spirit perjuangan yang timbul akibat gelombang pembaharuan (abad ke-18), organisasi-organisasi keagamaan muncul dan merangkak membawa obor perubahan, menuntun kita hijrah dari era kolonialisme ke era pasca-kolonialisme atau yang sebentar lagi kita rayakan, kemerdekaan.

Sejak itu, obor perubahan mendorong transformasi di hampir semua bidang. Apa yang usang terus terbuang. Membuat hidup tidak lagi ditentukan seberapa banyak senjata dikokang, tapi bagaimana menangkap peluang.

Meski terbilang kecil, namun organisasi-organisasi ini mampu tumbuh dan menyebar ke hampir penjuru negeri. Muhammadiyah menjelma menjadi organisasi yang mewadahi kelompok terpelajar dan modernis. Sementara Nahdlatul Ulama (NU) mengambil jalan lain, menyatu dengan tradisi dan menjadi rumah bagi kaum tradisionalis.

Keduanya lantas hidup dan berkembang menjadi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang mengusung mantra-mantra sakral civil society, meski dengan ide dan jalannya masing-masing.

Muhammadiyah, terutama, selalu dianggap melakukan "perselingkuhan" jika berhimpitan dengan politik dan bisnis. Sejengkal saja mendekati wilayah abu-abu tersebut, Muhammadiyah segera dicap keluar dari khittah.


Putusan final

Terbaru, saat pemerintah berinisiatif memberi mereka izin usaha pertambangan (IUP). Sebutan bahwa mereka telah keluar khittah perjuangan menyeruak. Mereka dianggap haram menyentuh dunia yang kerap disebut perusak lingkungan ini.

Muhammadiyah menjadi serba salah. Di satu sisi melihatnya sebagai peluang untuk memperluas spektrum dakwah yang selama ini terbatas di bidang pendidikan dan kesehatan, di sisi lain dianggap mencederai masa depan kemandirian dan menyandera nalar kritis organisasi keagamaan di kemudian hari.

Akhirnya, Muhammadiyah mengambil keputusan final soal tambang. Akhir pekan lalu, dalam acara konsolidasi nasional di Yogyakarta, salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini mengambil langkah berani, dengan menyatakan kesiapan untuk terlibat dalam pengelolaan tambang.

Langkah ini mencerminkan tekad untuk tidak hanya berkontribusi pada perekonomian nasional, tetapi juga memastikan pengelolaan sumber daya alam yang etis dan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Keputusan ini tentu melahirkan beragam tanggapan. Ada yang senang, kecewa, atau mungkin bimbang. Muhammadiyah sudah tahu dan siap menghadapi konsekuensinya. Sama seperti ketika panji Muhammadiyah pertama kali dikibarkan dan menempuh jalan dakwah lewat jalur pendidikan modern, penuh kontroversi, bahkan caci maki.


Kritik tak pernah usai

Selama ini, sektor pertambangan memang sering kali dipandang negatif. Kerusakan lingkungan, eksploitasi tenaga kerja, dan konflik sosial adalah beberapa isu utama yang melekat pada industri ini. Kritik terhadap praktik pertambangan tidak pernah surut, menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pengelolaan yang kurang bertanggung jawab.

Gelombang kritik terhadap sektor pertambangan tidak pernah reda, mulai dari LSM, akademisi, hingga masyarakat umum, semuanya mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap dampak negatif yang dihasilkan oleh aktivitas tambang. Hanya saja, sering kali kritik ini menghadapi tembok tebal kepentingan ekonomi dan politik yang membuat perubahan menjadi sulit.

Dunia tambang memang seumpama ruang gelap. Saat mata kehilangan pandangan, lalu intuisi pun didesak menemukan jalan. Memaksa kita menerima ketidaktahuan sebagai sebuah kebenaran.

Di titik ini, meminjam istilah peraih nobel memorial dalam ilmu ekonomi (2001) George Akerlof, dunia tambang meniscayakan adanya asimetri informasi. Kondisi dimana satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak daripada pihak lain, sehingga terdapat ketidakseimbangan informasi.

Dalam makalah "Market for Lemon" di Jurnal Quarterly 54 tahun silam, Akerlof mengkaji bagaimana kualitas barang yang diperdagangkan dalam suatu pasar dapat menurun dengan adanya asimetri informasi. Lebih lanjut, ketidakseimbangan ini dapat menciptakan seleksi yang merugikan.

Dalam dunia pertambangan, masyarakat sering kali tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai dampak tambang. Sementara pelaku industri memiliki akses terhadap informasi yang lebih lengkap, namun tidak selalu transparan. Teori pasar lemon Akerlof dapat menjelaskan situasi ini.

Asimetri informasi antara pelaku industri dan masyarakat membuat masalah tambang menjadi carut marut. Tata kelola pertambangan hingga kebijakan nasional pertambangan tidak sesuai mandat konstitusi. Sehingga menyebabkan kemakmuran dan kesejahteraan itu hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Padahal kita sama-sama tahu, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, Pasal 33 ayat [3] UUD 1945.

Gemah ripah loh jinawi akhirnya hanya menjadi slogan belaka. Karena gambaran betapa kaya rayanya Indonesia akan sumber daya alam tersebut hanya ada dalam pikiran saja, tidak pernah nyata. Alih-alih membuat kita makmur dan sejahtera, kekayaan alam malah membuat kita celaka. Kekayaan alam seperti dikatakan Jeffrey Sachs, malah meneguhkan premis adanya "kutukan sumber daya alam" (the cource of natural resources).

Lebih dari 11 juta hektare ruang hidup dan wilayah kelola rakyat dijarah oleh investasi pertambangan, pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Juga membuat lebih dari 35 ribu keluarga nelayan terancam ruang hidupnya, karena pencemaran di 3.197 wilayah perairan oleh limbah pertambangan (WALHI, 2022).


Cahaya di ruang gelap

Mengutip risalah konsolidasi nasional Muhammadiyah 27 hingga 28 Juli 2024, kehadiran Muhammadiyah di sektor pertambangan diharapkan mampu membawa perubahan signifikan. Dengan pendekatan yang transparan dan beretika, Muhammadiyah mesti berkomitmen membuat dunia pertambangan lebih terang benderang. Tidak hanya fokus pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada manfaat sosial yang lebih luas.

Muhammadiyah juga harus memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar tambang. Langkah ini mencakup pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan ekonomi lokal, sehingga aktivitas tambang tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan tambang Muhammadiyah harus disertai dengan monitoring, evaluasi, dan penilaian manfaat dan mafsadat (kerusakan) bagi masyarakat. Muhammadiyah harus berusaha semaksimal mungkin dan penuh tanggung jawab melibatkan kalangan profesional dari kalangan kader dan warga persyarikatan, masyarakat di sekitar area tambang, sinergi dengan perguruan tinggi, serta penerapan teknologi yang meminimalkan kerusakan alam.

Pengembangan tambang oleh Muhammadiyah harus diusahakan dapat menjadi model usaha not for profit, dimana keuntungan usaha dimanfaatkan untuk mendukung dakwah dan amal usaha serta masyarakat luas. Terlebih memberi kontribusi dalam pengembangan energi baru dan terbarukan.

Muhammadiyah memiliki berbagai perguruan tinggi dengan program studi pertambangan. Ini merupakan peluang besar untuk pemberdayaan melalui pendidikan. Dengan adanya teaching factory, mahasiswa dapat belajar dan berlatih langsung dalam lingkungan kerja nyata, sehingga mereka siap terjun ke dunia industri dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang memadai.

Kita tahu, ketentuan pasal 99 ayat (3) UU Minerba memberikan pelonggaran kewajiban reklamasi dan kegiatan pascatambang bagi pengusaha tambang yang berpotensi menciptakan lebih banyak lubang tambang beracun dan mematikan. Beleid ini intinya hanya mewajibkan penambang, bukan seluruh tambang.

Muhammadiyah, setelah turut mengelola tambang harus aktif mendorong audit asuransi tambang untuk menjamin setiap bulan dibayarkan. Jika terjadi kerusakan lingkungan, biaya perbaikan diambil dari asuransi tersebut, sehingga tidak membiayai APBN.

Untuk internasional kita mengenal ada international mining industry underwriters (IMIU). Untuk di tingkal nasional, Muhammadiyah ke depan bisa mendorong perusahaan asuransi, penjaminan dan investasi, baik yang tergabung dalam Indonesia Financial Group (IFG) maupun pihak swasta untuk ikut menyediakan polis asuransi pertambangan, seperti pollution liability, yaitu jaminan polusi dan tanggung jawab pada lingkungan.

Asuransi pollution liability akan memberikan pertanggungan untuk biaya pembelaan hukum dan pembersihan polusi yang terkait tangki penyimpanan bahan bakar dan bahan kimia, kolam sedimen, fasilitas filtrasi, proyek reklamasi, dan lokasi brownfield.

Dengan langkah-langkah ini, Muhammadiyah tidak hanya berupaya mengelola tambang dengan lebih baik, tetapi juga berkontribusi nyata bagi pembangunan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Langkah ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pihak lain untuk turut serta dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Sementara jika semua ijtihad pertambangan telah dilakukan, namun lebih banyak menimbulkan mafsadat, maka Muhammadiyah secara bertanggungjawab harus mengembalikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada pemerintah.


*) Muhammad Muchlas Rowi adalah Wakil Bendahara Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah